Sembilan Cangkir dan Percakapan yang Belum Selesai
*Sebuah pembacaan tentang kandang, undangan, dan kepenuhan yang tidak lengkap*
---
Ada perbedaan antara melihat masa depan dan mengakui masa lalu yang belum selesai kita proses.
Tarot, saya curiga, tidak melakukan yang pertama. Ia hanya sangat jujur melakukan yang kedua.
Tiga kartu terbentang di atas meja. Eight of Swords. Knight of Cups. Nine of Cups. Di luar jendela, hujan baru saja mulai—bukan hujan deras yang dramatis, hanya gerimis yang membuat udara berbau tanah basah dan aspal. Saya tidak tahu mengapa saya mencatat ini. Mungkin karena detail kecil adalah satu-satunya hal yang masih bisa saya kendalikan ketika segalanya terasa terlalu besar untuk dipahami.
Saya menarik napas.
Kartu pertama menunggu.
---
## I. TENTANG KANDANG DAN TANGAN YANG MEMBANGUNNYA
*Eight of Swords*
Apa bedanya penjara dengan rumah, jika kita sendiri yang memasang kuncinya?
Pertanyaan itu muncul enam bulan lalu, ketika saya menyadari bahwa saya telah menghabiskan dua tahun—dua tahun penuh—di dalam pola yang sama: bangun, bekerja, menghindari percakapan tertentu, tidur, ulangi. Bukan karena tidak ada pilihan. Bukan karena dunia menutup semua pintu. Tapi karena lebih mudah untuk percaya bahwa saya tidak punya pilihan daripada mengakui bahwa saya takut memilih.
Eight of Swords menunjukkan seorang wanita yang matanya ditutup, dikelilingi oleh delapan pedang yang ditancapkan ke tanah. Tapi jika Anda perhatikan—dan inilah yang mengganggu—pedang-pedang itu tidak benar-benar mengurungnya. Ada celah. Ada jalan. Ikatan di matanya longgar. Dia bisa saja melangkah keluar.
Tapi dia tidak melakukannya.
Dan saya mengerti kenapa.
---
Ini yang tidak dibicarakan orang tentang ketakutan: ia tidak selalu berteriak. Kadang ia berbisik dengan sangat lembut sehingga Anda mengira itu suara Anda sendiri. Ia berkata: *Kamu tidak cukup baik. Kamu akan menyakiti dirimu lagi. Ingat terakhir kali kamu mencoba?*
Dan karena ketakutan itu terdengar seperti logika, seperti perlindungan, seperti kebijaksanaan—kita mendengarkannya.
Saya pernah punya percakapan yang tidak pernah selesai. Bukan karena kami bertengkar. Bukan karena ada yang memutuskan untuk pergi dengan keras. Tapi karena suatu hari, tanpa ada kesepakatan, kami berdua berhenti mencoba. Pesan-pesan menjadi lebih jarang. Panggilan telepon menjadi lebih canggung. Dan kemudian—tidak ada. Hanya keheningan yang bergema lebih keras dari kata-kata apa pun yang pernah kami ucapkan.
Saya tidak menyadarinya saat itu, tapi percakapan yang tidak selesai itu membangun pedang-pedang di sekeliling saya. Setiap kali seseorang baru mencoba mendekat, saya akan mengingat bagaimana rasanya ketika seseorang pergi tanpa penjelasan. Setiap kali ada peluang, saya akan mengingat bagaimana peluang terakhir berakhir. Setiap kali ada undangan, saya akan mengingat bahwa tidak semua undangan berakhir dengan kepulangan.
Dan perlahan, tanpa menyadarinya, saya membangun kandang dari asumsi.
---
Ada malam ketika saya duduk di dapur—jam menunjukkan pukul 2:17 dini hari, saya ingat karena angka itu tidak bulat, tidak masuk akal untuk masih terjaga—dan saya menyadari bahwa saya tidak ingat kapan terakhir kali saya tertawa tanpa merasa bersalah setelahnya. Bersalah karena tertawa ketika ada seseorang yang mungkin masih saya sakiti. Bersalah karena bahagia ketika cerita di kepala saya masih mengatakan saya tidak berhak.
Gelas di tangan saya berembun. Air putih. Bahkan memilih air alih-alih kopi adalah bentuk kontrol kecil: tidak boleh terlalu bergantung pada kafein, tidak boleh terlalu bergantung pada apapun.
Di luar, motor lewat. Suaranya pelan, menjauh, hilang.
Dan saya berpikir: *Apa yang terjadi jika saya melepaskan semua ini?*
Bukan pertanyaan yang saya siap jawab. Tapi pertanyaan yang sudah mulai membuat celah.
---
Plato pernah bicara tentang gua—tentang orang-orang yang terikat sedemikian lama hingga mereka mengira bayangan di dinding adalah kenyataan. Dan ketika ada yang coba melepaskan mereka, mereka menolak. Bukan karena tidak ingin bebas. Tapi karena cahaya di luar terlalu menyakitkan untuk mata yang sudah terbiasa gelap.
Eight of Swords bukan tentang tidak adanya jalan keluar.
Ia tentang bagaimana kita belajar mencintai kegelapan, karena setidaknya kita tahu apa yang ada di sana.
---
Saya tidak akan berbohong dan mengatakan saya langsung keluar dari kandang itu. Tidak ada epifani dramatik di mana saya memutuskan untuk "sembuh" dalam semalam. Tapi ada momen kecil: membuka email yang tertunda tiga minggu. Membalas chat seseorang yang mengajak makan siang. Tidak membatalkan janji dengan terapis.
Momen-momen kecil yang terasa seperti mengkhianati diri sendiri, karena diri yang terluka ingin saya tetap aman—bahkan jika aman berarti terisolasi.
Dan kemudian, tanpa saya sadari, ada surat.
Atau mungkin bukan surat. Mungkin undangan. Mungkin hanya seseorang yang berdiri di depan pintu, menunggu saya membuka—atau setidaknya mengakui bahwa pintu itu ada.
---
## II. UNDANGAN DARI ORANG ASING YANG MENGENAKAN WAJAH KITA
*Knight of Cups*
Ada hari ketika seseorang datang membawa sesuatu yang tidak Anda minta tapi entah kenapa merasa seperti jawaban.
Knight of Cups tidak datang dengan keributan. Tidak ada drama besar, tidak ada orkestra latar. Ia datang dengan tenang—kuda putihnya melangkah lambat, cangkir di tangannya hampir seperti pertanyaan. Ia menawarkan sesuatu, tapi tidak memaksa. Ia mengundang, tapi tidak menuntut jawaban sekarang juga.
Dan itu yang membuatnya menakutkan.
---
Enam bulan setelah saya menyadari bahwa saya telah mengunci diri, seseorang—sebut saja A—mengirim pesan. Bukan siapa-siapa. Bukan orang yang saya kenal dekat. Hanya kenalan yang tiba-tiba bertanya: *Kamu baik-baik saja?*
Pertanyaan sederhana. Tapi saya ingat menatap layar terlalu lama sebelum menjawab.
Karena tidak, saya tidak baik-baik saja. Tapi bagaimana Anda menjelaskan bahwa Anda tidak baik-baik saja tanpa harus membuka seluruh arsip luka yang sudah Anda kubur rapi?
Saya menjawab: *Iya, kenapa?*
Bohong pertama dari banyak bohong.
---
Tapi A tidak menyerah. Minggu berikutnya, ada ajakan kopi. Minggu setelahnya, ada rekomendasi buku. Minggu setelah itu lagi, ada tawaran untuk jalan sore sambil tidak ngomong apa-apa kalau saya mau.
Dan saya mulai curiga: ini bukan kebetulan. Ini adalah undangan yang diulang-ulang sampai saya kehabisan alasan untuk menolak.
Knight of Cups seperti itu. Ia tidak datang sekali lalu pergi. Ia datang, menunggu, datang lagi. Ia membawa cangkir—simbol emosi, intuisi, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan logika—dan berkata: *Ini untukmu. Kalau kamu mau.*
Tapi ada yang aneh: setiap kali saya hampir menerima, ada suara di kepala yang bertanya: *Apa maunya dia sebenarnya?*
---
Kita hidup di era di mana kebaikan dianggap punya motif tersembunyi. Di mana vulnerability adalah konten yang bisa dimonetisasi. Di mana "ikuti kata hatimu" dijual oleh influencer yang tak pernah bilang bahwa hati juga bisa salah.
Dan saya tidak tahu lagi: apakah saya menolak karena trauma, atau karena saya sudah terlalu sinis untuk percaya bahwa ada orang yang datang tanpa agenda?
Knight of Cups menawarkan air. Tapi bagaimana kalau air itu beracun? Bagaimana kalau saya haus, dan justru karena haus itu saya salah memilih?
---
Suatu sore, setelah hujan—lagi-lagi hujan, selalu hujan di setiap turning point saya—kami duduk di teras kecil kedai yang lantainya masih basah. A memesan kopi hitam. Saya memesan teh, karena saya masih belum percaya pada diri sendiri untuk memegang sesuatu yang terlalu kuat.
Dan kemudian A bertanya: *Kenapa kamu selalu terlihat seperti sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi?*
Saya terdiam.
Bukan karena tidak tahu jawabannya. Tapi karena tahu terlalu banyak jawaban, dan tidak satupun yang bisa saya ucapkan tanpa membongkar semuanya.
Akhirnya saya bilang: *Mungkin karena biasanya memang begitu.*
A tidak menjawab langsung. Hanya menatap kopinya, lalu tersenyum—bukan senyum yang mencoba memperbaiki, tapi senyum yang mengakui bahwa ia tidak tahu harus bilang apa.
Dan entah kenapa, itu membantu.
---
Ada kutipan dari Rumi yang sering disalahgunakan: *Let yourself be silently drawn by the strange pull of what you really love.* Kedengarannya indah. Tapi yang tidak dibilang adalah: bagaimana kalau yang Anda cintai adalah luka Anda? Bagaimana kalau yang menarik Anda adalah kehancuran yang familiar, bukan pertumbuhan yang asing?
Knight of Cups bukan jaminan. Ia adalah kemungkinan.
Dan menerima kemungkinan berarti melepaskan kepastian—bahkan jika kepastian itu adalah kepastian tentang kehancuran.
---
Saya tidak jatuh cinta pada A. Tidak dalam cara yang dramatis, tidak dalam cara yang bisa saya tulis jadi cerita indah. Tapi ada sesuatu yang mulai berubah: saya mulai membalas chat tanpa menunggu tiga hari. Saya mulai bilang *iya* lebih sering daripada membuat alasan. Saya mulai mempercayai bahwa mungkin—hanya mungkin—ada orang yang datang tanpa niat menyakiti.
Tapi ada rasa bersalah yang mengikuti: setiap kali saya tertawa bersama A, ada bayangan seseorang—sebut saja B, orang yang hilang enam bulan lalu tanpa penjelasan—yang muncul di pinggiran pikiran.
Dan saya berpikir: *Apa ini mengkhianati B?*
Pertanyaan absurd, karena B sudah tidak ada di sini. B sudah memilih untuk tidak ada di sini.
Tapi hati tidak peduli logika. Hati hanya tahu bahwa ia pernah menyimpan seseorang terlalu lama, dan sekarang tidak tahu cara melepaskan tanpa merasa seperti membunuh bagian dari diri sendiri.
---
Suatu malam, saya bermimpi tentang B. Bukan mimpi yang jelas, hanya fragmen: percakapan yang tidak selesai, tawa yang terputus, kata-kata yang tidak pernah diucapkan. Dan ketika saya bangun, pipi saya basah—bukan karena menangis dalam mimpi, tapi karena tubuh saya menangis tanpa izin kesadaran saya.
Saya duduk di tepi ranjang. Jam menunjukkan pukul 4:08 pagi.
Dan saya menyadari: mungkin saya tidak kehilangan B.
Mungkin saya kehilangan versi saya yang masih percaya bahwa cinta tidak akan pergi tanpa bilang.
---
Knight of Cups masih ada. A masih mengirim pesan. Tapi sekarang saya tahu: ia bukan pengganti. Ia hanya jembatan.
Dan mungkin itu cukup.
Atau mungkin tidak.
Tapi setidaknya sekarang saya berdiri di jembatan, bukan di kandang.
---
## III. CANGKIR KESEMBILAN ADALAH YANG KOSONG
*Nine of Cups*
Saya mendapatkan semua yang saya minta.
Dan sekarang saya tidak yakin apa yang saya inginkan.
---
Nine of Cups disebut *wish card*—kartu keinginan terpenuhi. Pria di kartu itu duduk dengan sembilan cangkir tersusun rapi di belakangnya, tangan terlipat, ekspresi puas. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja menang.
Tapi tidak ada yang bertanya: *Dan kemudian apa?*
---
Tiga bulan setelah Knight of Cups, hidup saya—di atas kertas—sangat baik.
Pekerjaan stabil. Hubungan dengan A berkembang menjadi sesuatu yang hangat dan aman. Saya bahkan mulai tidur lebih baik, tidak lagi terbangun jam 2 pagi dengan jantung berdebar tanpa alasan.
Tapi ada momen—momen kecil yang tidak bisa saya jelaskan—di mana saya merasa kosong.
Bukan kosong yang dramatis. Bukan depresi yang menghancurkan. Hanya… datar.
Seperti menonton film yang ending-nya sudah ditebak. Seperti makan makanan favorit tapi lidah sudah tidak merasakan apa-apa.
---
Suatu pagi, saya bangun dan menyadari: saya tidak ingat kapan terakhir kali saya benar-benar menginginkan sesuatu.
Bukan *butuh*. Bukan *seharusnya*. Tapi *ingin*—dengan seluruh tubuh, dengan seluruh hati, dengan cara yang irasional dan tidak bisa dijelaskan.
Saya punya semua yang "seharusnya" membuat saya bahagia. Tapi kebahagiaan itu terasa seperti kewajiban, bukan perayaan.
Dan saya curiga: mungkin saya terlalu takut kehilangan lagi, sehingga saya tidak benar-benar membiarkan diri saya memiliki.
---
Ada konsep dalam Buddhisme: *dukkha*—sering diterjemahkan sebagai "penderitaan," tapi makna yang lebih akurat adalah "ketidakpuasan yang melekat pada eksistensi." Bukan karena hidup selalu buruk, tapi karena bahkan ketika hidup baik, ada sensasi halus bahwa ini tidak akan bertahan.
Nine of Cups adalah paradoks itu.
Ia berkata: *Ini yang kamu mau, kan?*
Dan kamu terpaksa menjawab: *Iya. Tapi kenapa rasanya seperti ada yang hilang?*
---
Saya duduk di teras yang sama—tempat pertama kali A bertanya kenapa saya selalu terlihat menunggu hal buruk. Sekarang hujan lagi. Gerimis kecil yang tidak tahu kapan akan berhenti.
A ada di sebelah saya, membaca sesuatu di ponsel. Sesekali tertawa pelan. Kami tidak bicara banyak, tapi itu tidak masalah. Keheningan kami sudah tidak canggung.
Dan tiba-tiba saya berpikir tentang B.
Bukan dengan cara yang menyakitkan. Bukan dengan rindu yang menghancurkan. Hanya… ingat.
Ingat bagaimana B memesan kopi—selalu double shot, selalu tanpa gula, selalu dengan sedikit komplain tentang barista yang terlalu ceria.
Ingat bagaimana B tertawa—kepala sedikit menengadah, mata menyipit, suara yang lebih keras dari yang B sadari.
Ingat bagaimana percakapan kami tidak pernah selesai—karena kami selalu punya sesuatu lagi untuk dibicarakan, sampai suatu hari kami tidak punya lagi.
Dan saya menyadari: saya tidak kehilangan B.
Saya kehilangan narasi yang saya bangun tentang B.
---
Kita suka berpikir bahwa cinta adalah tentang orang. Tapi sering kali, cinta adalah tentang cerita yang kita ceritakan pada diri sendiri tentang orang itu. Dan ketika cerita itu runtuh, yang tersisa adalah: siapa mereka sebenarnya? Atau lebih tepatnya, siapa kita tanpa cerita itu?
Saya tidak tahu siapa B sekarang. Mungkin B bahagia. Mungkin B juga bertanya-tanya tentang saya. Mungkin B tidak pernah berpikir tentang saya lagi.
Dan semua kemungkinan itu harus saya terima, karena saya tidak punya hak atas cerita B lagi.
---
A menyenggol lengan saya. *Kamu melamun.*
*Iya,* saya jawab. *Maaf.*
*Enggak apa-apa,* A bilang. Lalu, setelah jeda: *Kamu masih memikirkan seseorang?*
Saya terdiam.
Bukan karena tidak tahu jawabannya. Tapi karena jawaban yang jujur terlalu kompleks untuk diucapkan di teras basah ini.
Akhirnya saya bilang: *Iya. Tapi bukan dengan cara yang kamu pikir.*
A mengangguk. Tidak menanyakan lebih lanjut.
Dan saya bersyukur untuk itu.
---
Ada kalimat yang ingin saya tulis di sini. Tapi saya belum cukup jujur untuk menulisnya.
Kalimat itu pendek. Tiga kata.
Dan saya tahu, suatu hari, saya harus mengatakannya—entah pada B, entah pada diri sendiri, entah pada udara—agar saya bisa benar-benar melepaskan.
Tapi hari ini bukan hari itu.
---
Nine of Cups bukan tentang kebahagiaan sempurna.
Ia tentang belajar hidup dengan incompleteness.
Tentang menerima bahwa Anda bisa punya delapan cangkir yang penuh, dan satu yang kosong, dan itu bukan kegagalan—itu hanya kenyataan.
Tentang memilih untuk bersyukur pada yang ada, sambil mengakui bahwa rindu tidak pernah benar-benar mati—ia hanya belajar hidup lebih tenang di sudut hati.
---
Kami pulang ketika hujan mulai deras. A menawarkan payung. Saya menerima.
Dan ketika kami berjalan—bahu hampir bersentuhan, langkah sinkron tanpa direncanakan—saya menyadari:
Mungkin ini yang dimaksud "bahagia."
Bukan tidak punya luka. Bukan tidak punya pertanyaan. Bukan tidak pernah ingat seseorang yang sudah pergi.
Tapi tetap berjalan, meskipun hujan.
Tetap membuka cangkir, meskipun takut tumpah.
Tetap menerima undangan, meskipun tidak tahu kemana itu akan berujung.
---
## EPILOG
Tiga kartu masih terbentang di meja.
Di luar, hujan turun pelan—bukan hujan yang membersihkan, bukan hujan yang menutup cerita. Hanya hujan yang mengingatkan bahwa beberapa hal tidak pernah selesai, hanya tertunda.
Saya menatap kartu-kartu itu: Eight of Swords, Knight of Cups, Nine of Cups.
Dan saya berpikir: mungkin tarot tidak membaca masa depan.
Mungkin ia hanya memegang cermin—cermin yang menunjukkan apa yang sudah kita tahu, tapi belum siap untuk mengakui.
---
Ada cangkir kopi di sebelah kiri saya. Masih mengepul. Saya tidak ingat kapan saya membuatnya.
Saya menarik napas. Bau hujan masuk melalui jendela yang sedikit terbuka.
Dan saya menyadari: saya tidak tahu apakah ini pertanyaan atau jawaban.
Tapi saya tahu—dan ini yang menakutkan—bahwa besok saya akan membuka kartu lagi.
Dan saya akan berharap kombinasinya berbeda.
Atau mungkin tidak.
Mungkin saya hanya ingin konfirmasi bahwa percakapan yang belum selesai itu suatu hari akan menemukan akhirnya.
Atau mungkin saya sudah belajar: beberapa percakapan memang tidak dirancang untuk selesai.
Mereka dirancang untuk bergema.
Dan di dalam gema itu, kita belajar hidup.
---
*Akhir.*
#resonansi #resonance #psychology #ceritakehidupan #kartutarot #tarot
Comments
Post a Comment